Senin, 21 Januari 2013

Dampak Bencana Alam Terhadap Perekonomian Indonesia


Dampak Bencana Alam Terhadap Perekonomian Indonesia

Bencana alam di dalam negeri belakangan ini terus mendera. Seiring musim hujan, bencana alam di banyak daerah terjadi sambung-menyambung. Bencana tersebut terutama berupa banjir, tanah longsor, juga angin ribut atau topan. Di luar faktor musim hujan, bencana lain juga sesekali mencuat secara sporadis di sejumlah daerah: gempa bumi, gunung meletus, serangan hama tanaman, serangan virus hewan ternak, dan banyak lagi.
Setiap bencana selalu melahirkan risiko berupa kerugian material atau bahkan jiwa manusia. Secara ekonomi, bencana alam selalu berdampak menurunkan kapasitas produksi masyarakat. Itu tak terhindarkan karena infrastruktur ekonomi menjadi rusak - atau paling tidak terganggu untuk beberapa saat. Banjir yang menggenangi jalan Tol Jakarta-Merak sejak Rabu lalu, misalnya, membuat mobilitas sosial-ekonomi sempat lumpuh. Implikasinya, pasokan barang ke sejumlah daerah niscaya terganggu. Sedikit atau banyak, gangguan tersebut dapat dipastikan selama beberapa saat berdampak mengerek harga barang di daerah-daerah bersangkutan.
Secara kasuistis, kerugian ekonomi akibat bencana alam ini mungkin tak terlihat kelewat besar dibanding besaran ekonomi nasional - terutama kalau skala bencana itu relatif kecil. Kerugian ekonomi akibat banjir yang selama beberapa jam menggenangi warga Kampung Melayu, Jakarta, misalnya, relatif tak berarti bahkan dibanding besaran ekonomi DKI Jakarta sendiri. Kerugian itu juga seolah menjadi risiko warga Kampung Melayu semata, sehingga tak terkesan menohok kehidupan ekonomi DKI Jakarta atau apalagi ekonomi nasional.
Namun lain soal jika bencana alam ini berskala masif: nilai kerugian ekonomi yang timbul bisa mencengangkan. Kerugian ekonomi akibat gempa bumi yang melanda Sumbar pada tahun 2009, misalnya, mencapai sekitar Rp 21 triliun. Bandingkan angka tersebut dengan dana yang dihabiskan untuk membangun proyek Jembatan Suramadu di Jatim yang bernilai Rp 4,5 triliun. Dengan komparasi itu, dampak ekonomi gempa bumi Sumbar jelas terbilang dahsyat.
Karena itu pula, secara nasional, akumulasi tahunan dampak bencana alam terhadap ekonomi sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata. Sayangnya, sejauh ini pemerintah hampir tak pernah menghitung nilai kerugian ekonomi akibat akumulasi berbagai bencana alam secara nasional. Paling tidak, pemerintah tak pernah membuat publikasi mengenai soal itu.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah abai atau memandang remeh risiko bencana alam terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Seolah-olah risiko ekonomi bencana alam adalah masalah kasuistis dan lokal. Karena itu, paradigma yang dianut pemerintah pun cenderung sekadar berupa penanggulangan sporadis. Itu tecermin dalam alokasi dana penanggulangan bencana alam yang saban tahun rata-rata hanya bernilai Rp 4 triliun.
Mestinya, risiko ekonomi bencana alam ini dikalkulasi secara cermat berdasarkan pemetaan potensi bencana secara nasional. Dengan demikian, risiko itu secara agregat bisa tecermin dalam ekonomi nasional (produk domestik bruto). Dengan itu pula, mekanisme pendanaan bisa dirumuskan bukan lagi sekadar merujuk kepada upaya penanggulangan sesaat, melainkan lebih mendasar dan strategis: penyelamatan kapasitas produksi di masyarakat dari terpaan bencana alam.
Dengan kata lain, dampak ekonomi bencana alam bisa benar-benar diminimalisasi. Paling tidak kelumpuhan fungsi-fungsi ekonomi di masyarakat tak sampai berlarut.
Dampak Ekonomi Bencana Alam
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB (Kandidat Profesor Riset Hidrologi)
Potensi gangguan terhadap kehidupan sosial ekonomi selalu ada bagi penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana seperti Indonesia. Risiko bencana alam membawa pengaruh negatif terhadap pembangunan, terutama pembangunan ekonomi. Bencana alam menyusutkan kapasitas produktif dalam skala besar yang berakibat pada kerugian finansial.
Karena itu, bencana alam membutuhkan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi agar kehidupan ekonomi kembali normal. Tetapi, semua ini memiliki konsekuensi pembiayaan yang sering melebihi kemampuan ekonomi daerah yang terlanda bencana. Kebutuhan biaya sosial ekonomi yang besar buat rehabilitasi dan rekonstruksi menelan hasil-hasil pembangunan. Laporan Asia Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (UN-ESCAP) dan UN-ISDR menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik, termasuk di dalamnya Indonesia, menghasilkan seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Namun, dalam 30 tahun terakhir ini 85% dari kematian dan 38% kerugian ekonomi global yang diakibatkan oleh bencana alam juga terjadi di kawasan ini. Sementara itu, Global Assessment Report (GAR 2011) memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai 1% dari PDB, atau setara dengan kerugian yang dialami oleh negara-negara yang mengalami krisis keuangan global pada tahun 1980 dan 1990-an.
Bagi Indonesia hal tersebut sangat terasa dari dampak bencana. Besarnya kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana sangat besar. Tsunami Aceh (2004) menimbulkan kerusakan dan kerugian Rp 39 Trilyun. Berturut-turut gempabumi Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 (Rp 27 trilyun), banjir Jakarta tahun 2007 (Rp 4,8 trilyun), gempabumi Sumbar tahun 2009 (Rp 21,6 trilyun), dan erupsi Merapi tahun 2010 di luar dari dampak lahar dingin sebesar Rp 3,56 trilyun. Sebuah angka yang sangat besar. Bandingkan dengan kebutuhan untuk membangun Jembatan Suramadu sekitar Rp 4,5 trilyun dan kebutuhan JORR Tahap II sepanjang 122,6 km sebanyak Rp 5 trilyun. Artinya dampak bencana tersebut menurunkan laju pembangunan.
Dampak fiskal bencana secara nasional memang tergolong kecil. Sebagai misal, tsunami Aceh tahun 2004 hanya 0,3% dari produk domestik regional bruto (PDRB) Indonesia. Namun prosentase tersebut sangat kecil di tingkat daerah yaitu mencapai 45% dari produk domestic regional bruto (PDRB). Begitu pula gempabumi Yogyakarta mencapai 41% dan gempabumi Sumatera Barat sebesar 30% dari PDRB.
Tentu saja hal ini sangat berat jika dibebankan kepada daerah. Dalam kondisi normal, tidak ada bencana saja, saat ini banyak daerah-daerah di Indonesia yang deficit. Apalagi terkena bencana dan harus memulihkan perekonomian daerah. Oleh karena itu Pemerintah Pusat diperlukan membantu pendanaannya. Dan dalam kenyataannya hamper 90 persen lebih sumber dananya dari pemerintah pusat.
Sementara itu kemampuan pemerintah mengalokasikan dana cadangan penanggulangan bencana setiap tahun hanya sekitar Rp 4 trilyun. Dana tersebut digunakan untuk mengatasi semua bencana besar maupun kecil yang terjadi di seluruh Indonesia. Alokasi dana tersebut perlu ditambah. Atau dikembangkan suatu mekanisme sistem pendanaan pasca bencana, seperti misal asuransi bencana yang preminya ditanggung pemerintah.
Mengapa Terjadi Banjir
Banjir yang terjadi pada Senin (2/4) hingga Rabu (4/4) lalu telah menyebabkan 75 RW dan ribuan rumah di Jakarta dan Tangerang terendam banjir. Banjir terjadi akibat meluapnya Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Angke dan sebagian Kali Ciliwung meluap. Padahal curah hujan yang terjadi tidak terlalu besar. Hanya sekitar 124 mm/hari pada Selasa (3/4). Jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat banjir Jakarta tahun 1996 hujannya 300 mm/hari. Banjir tahun 2007 hujan 340 mm/hari. Luas DAS Pesanggrahan 177 km2. Hulunya di perumahan Budi Agung, Tanah Sereang Kota Bogor, dan hilir bertemu dengan Cengkareng Drain. Hampir 70% kawasan terbangun dari luas DASnya. Permukiman padat sekitar 45% dari luas DAS tersebar di bagian hilir, mulai dari Kebayoran Lama, Kedoya dan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Kawasan hijau hanya 7% dan tidak merata. Sedangkan luas DAS Angke 239 km2 dengan hulu di perumahan Yasmin Bogor kemudian melewati Parung, Bojonggede, Ciputat, Serpong dan bermuara di Mookevart. Hampir 60% dari luas DAS adalah permukiman padat. Sisanya tegalan, lahan kosong, semak. Tidak ada hutan.
 Dengan kondisi tutupan lahan yang demikian maka hujan yang turun hampir 70% langsung menjadi limpasan permukaan. Buruknya drainase dan sungai maka tidak mampu mengalirkan limpasan permukaan. Kapasitas debit sungai saat ini hanya mampu menampung 20% dari debit banjir yang ada. Adanya penyempitan dan pendangkalan sungai menyebabkan sekitar 80% debit sungai menjadi banjir yang menggenangi permukiman. Dengan kondisi tersebut suatu hal yang wajar jika terjadi banjir. Justru akan aneh jika tidak banjir karena dari sistem hidrologi memang sudah tidak seimbang.
Guna mengatasi banjir di Kali Pesanggrahan dan sekitarnya pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 2,3 triliun. Dana tersebut  untuk normalisasi tiga sungai yaitu Pesanggrahan, Angke dan Sunter. Pelaksanaannya dimulai tahun 2011-2014. Pertahun dialokasi Rp 600 miliar yang dilakukan oleh Kementerian PU dan Pemprov DKI, PU menangani aspek teknis untuk konstruksinya, dan DKI untuk masalah pembebasan lahan. Atau untuk Kali Pesanggrahan dan Angke sekitar Rp 400 milyar. Dengan normalisasi, kapasitas debit sungai meningkat empat kali lipat dari debitnya pada saat ini. Pada tahun ini akan dilakukan normalisasi Kali Pesanggrahan sepanjang 8 km dan Kali Angke 6 km. Total normalisasi Kali Pesanggrahan 26,7 km dengan melebarkan sungai dari 10-15 meter pada saat ini menjadi 30-40 meter. Akibatnya debit sungai akan meningkat dari 30 m3/detik menjadi 220,3 m3/detik. Normalisasi Sungai Angke dilakukan sepanjang 20 KM, dengan melebarkan dari 10-15 meter menjadi 27-30 meter pada akhir 2014. Kapasitas debit air juga akan meningkat dari 16 m3/detik menjadi 200 m3/detik.
Namun keberhasilan normalisasi tersebut sangat tergantung juga peran serta masyarakat dan dunia usaha. Sebab saat ini banyak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Bahkan tidak sedikit yang rumah dibangun di dalam badan sungai sehingga masalah pembebasan lahan sangat berperan keberhasilan program mengatasi banjir.



Perekonomian Asia paling rentan terhadap bencana alam
PARIS, Perancis - Negara-negara Asia mendominasi daftar negara paling rentan terhadap gempa bumi, banjir, badai dan bencana alam lainnya, menurut penelitian yang diterbitkan oleh konsultan risiko Inggris, Maplecroft, Rabu (15 Agustus), lapor AFP.
Enam negara Asia termasuk di antara sepuluh negara yang perekonomiannya paling rentan terhadap bencana, berdasarkan penilaian terhadap 197 negara.
Peringkat tertinggi dalam daftar ini diduduki oleh Bangladesh dan Filipina, yang bersama dengan Myanmar dianggap memiliki risiko "ekstrim". Negara-negara Asia lainnya dalam sepuluh besar adalah India, Vietnam dan Laos.
Negara-negara Karibia, Haiti dan Republik Dominika, dan negara-negara Amerika Tengah, Nikaragua dan Honduras, melengkapi daftar sepuluh besar.
"Peta Risiko Bahaya Alam" mendata dampak bencana alam di suatu negara terkait dengan perekonomiannya, dengan mempertimbangkan kesiapannya menghadapi kejadian tersebut dan kemampuan sosial untuk bangkit kembali.
Laporan ini menyoroti dampak terhadap perekonomian Filipina akibat badai, tanah longsor, gunung berapi, dan banjir, termasuk banjir besar yang melanda bagian utara Pulau Luzon pekan lalu.
Laporan ini juga mencatat dampak akibat kekeringan di India, yang pada tahun ini mungkin akan menurunkan 0,5% dari PDB negara itu.