Dampak
Bencana Alam Terhadap Perekonomian Indonesia
Bencana alam di dalam
negeri belakangan ini terus mendera. Seiring musim hujan, bencana alam di
banyak daerah terjadi sambung-menyambung. Bencana tersebut terutama berupa
banjir, tanah longsor, juga angin ribut atau topan. Di luar faktor musim hujan,
bencana lain juga sesekali mencuat secara sporadis di sejumlah daerah: gempa
bumi, gunung meletus, serangan hama tanaman, serangan virus hewan ternak, dan
banyak lagi.
Setiap bencana selalu
melahirkan risiko berupa kerugian material atau bahkan jiwa manusia. Secara
ekonomi, bencana alam selalu berdampak menurunkan kapasitas produksi
masyarakat. Itu tak terhindarkan karena infrastruktur ekonomi menjadi rusak -
atau paling tidak terganggu untuk beberapa saat. Banjir yang menggenangi jalan
Tol Jakarta-Merak sejak Rabu lalu, misalnya, membuat mobilitas sosial-ekonomi
sempat lumpuh. Implikasinya, pasokan barang ke sejumlah daerah niscaya
terganggu. Sedikit atau banyak, gangguan tersebut dapat dipastikan selama
beberapa saat berdampak mengerek harga barang di daerah-daerah bersangkutan.
Secara kasuistis,
kerugian ekonomi akibat bencana alam ini mungkin tak terlihat kelewat besar
dibanding besaran ekonomi nasional - terutama kalau skala bencana itu relatif
kecil. Kerugian ekonomi akibat banjir yang selama beberapa jam menggenangi
warga Kampung Melayu, Jakarta, misalnya, relatif tak berarti bahkan dibanding
besaran ekonomi DKI Jakarta sendiri. Kerugian itu juga seolah menjadi risiko
warga Kampung Melayu semata, sehingga tak terkesan menohok kehidupan ekonomi
DKI Jakarta atau apalagi ekonomi nasional.
Namun lain soal jika
bencana alam ini berskala masif: nilai kerugian ekonomi yang timbul bisa
mencengangkan. Kerugian ekonomi akibat gempa bumi yang melanda Sumbar pada
tahun 2009, misalnya, mencapai sekitar Rp 21 triliun. Bandingkan angka tersebut
dengan dana yang dihabiskan untuk membangun proyek Jembatan Suramadu di Jatim
yang bernilai Rp 4,5 triliun. Dengan komparasi itu, dampak ekonomi gempa bumi
Sumbar jelas terbilang dahsyat.
Karena itu pula, secara
nasional, akumulasi tahunan dampak bencana alam terhadap ekonomi sama sekali
tak bisa dipandang sebelah mata. Sayangnya, sejauh ini pemerintah hampir tak
pernah menghitung nilai kerugian ekonomi akibat akumulasi berbagai bencana alam
secara nasional. Paling tidak, pemerintah tak pernah membuat publikasi mengenai
soal itu.
Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah abai atau memandang remeh risiko bencana alam
terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Seolah-olah risiko ekonomi bencana alam
adalah masalah kasuistis dan lokal. Karena itu, paradigma yang dianut
pemerintah pun cenderung sekadar berupa penanggulangan sporadis. Itu tecermin
dalam alokasi dana penanggulangan bencana alam yang saban tahun rata-rata hanya
bernilai Rp 4 triliun.
Mestinya, risiko
ekonomi bencana alam ini dikalkulasi secara cermat berdasarkan pemetaan potensi
bencana secara nasional. Dengan demikian, risiko itu secara agregat bisa
tecermin dalam ekonomi nasional (produk domestik bruto). Dengan itu pula,
mekanisme pendanaan bisa dirumuskan bukan lagi sekadar merujuk kepada upaya
penanggulangan sesaat, melainkan lebih mendasar dan strategis: penyelamatan
kapasitas produksi di masyarakat dari terpaan bencana alam.
Dengan kata lain,
dampak ekonomi bencana alam bisa benar-benar diminimalisasi. Paling tidak
kelumpuhan fungsi-fungsi ekonomi di masyarakat tak sampai berlarut.
Dampak Ekonomi Bencana
Alam
Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas BNPB (Kandidat Profesor Riset Hidrologi)
Potensi gangguan
terhadap kehidupan sosial ekonomi selalu ada bagi penduduk yang tinggal di
daerah rawan bencana seperti Indonesia. Risiko bencana alam membawa pengaruh
negatif terhadap pembangunan, terutama pembangunan ekonomi. Bencana alam
menyusutkan kapasitas produktif dalam skala besar yang berakibat pada kerugian
finansial.
Karena itu, bencana
alam membutuhkan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi agar kehidupan
ekonomi kembali normal. Tetapi, semua ini memiliki konsekuensi pembiayaan yang
sering melebihi kemampuan ekonomi daerah yang terlanda bencana. Kebutuhan biaya
sosial ekonomi yang besar buat rehabilitasi dan rekonstruksi menelan
hasil-hasil pembangunan. Laporan Asia Pacific Disaster Report 2010 yang disusun
oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (UN-ESCAP)
dan UN-ISDR menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik, termasuk di dalamnya
Indonesia, menghasilkan seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Namun, dalam 30 tahun terakhir ini 85% dari kematian dan 38% kerugian ekonomi
global yang diakibatkan oleh bencana alam juga terjadi di kawasan ini. Sementara
itu, Global Assessment Report (GAR 2011) memperkirakan bahwa kerugian akibat
bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai 1% dari PDB, atau setara dengan
kerugian yang dialami oleh negara-negara yang mengalami krisis keuangan global
pada tahun 1980 dan 1990-an.
Bagi Indonesia hal
tersebut sangat terasa dari dampak bencana. Besarnya kerusakan dan kerugian
akibat dampak bencana sangat besar. Tsunami Aceh (2004) menimbulkan kerusakan
dan kerugian Rp 39 Trilyun. Berturut-turut gempabumi Yogyakarta dan Jawa Tengah
tahun 2006 (Rp 27 trilyun), banjir Jakarta tahun 2007 (Rp 4,8 trilyun),
gempabumi Sumbar tahun 2009 (Rp 21,6 trilyun), dan erupsi Merapi tahun 2010 di
luar dari dampak lahar dingin sebesar Rp 3,56 trilyun. Sebuah angka yang sangat
besar. Bandingkan dengan kebutuhan untuk membangun Jembatan Suramadu sekitar Rp
4,5 trilyun dan kebutuhan JORR Tahap II sepanjang 122,6 km sebanyak Rp 5
trilyun. Artinya dampak bencana tersebut menurunkan laju pembangunan.
Dampak fiskal bencana
secara nasional memang tergolong kecil. Sebagai misal, tsunami Aceh tahun 2004
hanya 0,3% dari produk domestik regional bruto (PDRB) Indonesia. Namun
prosentase tersebut sangat kecil di tingkat daerah yaitu mencapai 45% dari
produk domestic regional bruto (PDRB). Begitu pula gempabumi Yogyakarta
mencapai 41% dan gempabumi Sumatera Barat sebesar 30% dari PDRB.
Tentu saja hal ini
sangat berat jika dibebankan kepada daerah. Dalam kondisi normal, tidak ada
bencana saja, saat ini banyak daerah-daerah di Indonesia yang deficit. Apalagi
terkena bencana dan harus memulihkan perekonomian daerah. Oleh karena itu
Pemerintah Pusat diperlukan membantu pendanaannya. Dan dalam kenyataannya
hamper 90 persen lebih sumber dananya dari pemerintah pusat.
Sementara itu kemampuan
pemerintah mengalokasikan dana cadangan penanggulangan bencana setiap tahun
hanya sekitar Rp 4 trilyun. Dana tersebut digunakan untuk mengatasi semua
bencana besar maupun kecil yang terjadi di seluruh Indonesia. Alokasi dana
tersebut perlu ditambah. Atau dikembangkan suatu mekanisme sistem pendanaan
pasca bencana, seperti misal asuransi bencana yang preminya ditanggung
pemerintah.
Mengapa Terjadi Banjir
Banjir yang terjadi
pada Senin (2/4) hingga Rabu (4/4) lalu telah menyebabkan 75 RW dan ribuan
rumah di Jakarta dan Tangerang terendam banjir. Banjir terjadi akibat meluapnya
Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Angke dan sebagian Kali Ciliwung meluap.
Padahal curah hujan yang terjadi tidak terlalu besar. Hanya sekitar 124 mm/hari
pada Selasa (3/4). Jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat banjir Jakarta
tahun 1996 hujannya 300 mm/hari. Banjir tahun 2007 hujan 340 mm/hari. Luas DAS
Pesanggrahan 177 km2. Hulunya di perumahan Budi Agung, Tanah Sereang Kota
Bogor, dan hilir bertemu dengan Cengkareng Drain. Hampir 70% kawasan terbangun
dari luas DASnya. Permukiman padat sekitar 45% dari luas DAS tersebar di bagian
hilir, mulai dari Kebayoran Lama, Kedoya dan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Kawasan
hijau hanya 7% dan tidak merata. Sedangkan luas DAS Angke 239 km2 dengan hulu
di perumahan Yasmin Bogor kemudian melewati Parung, Bojonggede, Ciputat,
Serpong dan bermuara di Mookevart. Hampir 60% dari luas DAS adalah permukiman
padat. Sisanya tegalan, lahan kosong, semak. Tidak ada hutan.
Dengan kondisi tutupan lahan yang demikian
maka hujan yang turun hampir 70% langsung menjadi limpasan permukaan. Buruknya
drainase dan sungai maka tidak mampu mengalirkan limpasan permukaan. Kapasitas
debit sungai saat ini hanya mampu menampung 20% dari debit banjir yang ada.
Adanya penyempitan dan pendangkalan sungai menyebabkan sekitar 80% debit sungai
menjadi banjir yang menggenangi permukiman. Dengan kondisi tersebut suatu hal
yang wajar jika terjadi banjir. Justru akan aneh jika tidak banjir karena dari
sistem hidrologi memang sudah tidak seimbang.
Guna mengatasi banjir
di Kali Pesanggrahan dan sekitarnya pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 2,3
triliun. Dana tersebut untuk normalisasi
tiga sungai yaitu Pesanggrahan, Angke dan Sunter. Pelaksanaannya dimulai tahun
2011-2014. Pertahun dialokasi Rp 600 miliar yang dilakukan oleh Kementerian PU
dan Pemprov DKI, PU menangani aspek teknis untuk konstruksinya, dan DKI untuk
masalah pembebasan lahan. Atau untuk Kali Pesanggrahan dan Angke sekitar Rp 400
milyar. Dengan normalisasi, kapasitas debit sungai meningkat empat kali lipat
dari debitnya pada saat ini. Pada tahun ini akan dilakukan normalisasi Kali
Pesanggrahan sepanjang 8 km dan Kali Angke 6 km. Total normalisasi Kali
Pesanggrahan 26,7 km dengan melebarkan sungai dari 10-15 meter pada saat ini
menjadi 30-40 meter. Akibatnya debit sungai akan meningkat dari 30 m3/detik
menjadi 220,3 m3/detik. Normalisasi Sungai Angke dilakukan sepanjang 20 KM,
dengan melebarkan dari 10-15 meter menjadi 27-30 meter pada akhir 2014.
Kapasitas debit air juga akan meningkat dari 16 m3/detik menjadi 200 m3/detik.
Namun keberhasilan
normalisasi tersebut sangat tergantung juga peran serta masyarakat dan dunia
usaha. Sebab saat ini banyak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Bahkan
tidak sedikit yang rumah dibangun di dalam badan sungai sehingga masalah
pembebasan lahan sangat berperan keberhasilan program mengatasi banjir.
Perekonomian
Asia paling rentan terhadap bencana alam
PARIS, Perancis -
Negara-negara Asia mendominasi daftar negara paling rentan terhadap gempa bumi,
banjir, badai dan bencana alam lainnya, menurut penelitian yang diterbitkan
oleh konsultan risiko Inggris, Maplecroft, Rabu (15 Agustus), lapor AFP.
Enam negara Asia
termasuk di antara sepuluh negara yang perekonomiannya paling rentan terhadap
bencana, berdasarkan penilaian terhadap 197 negara.
Peringkat tertinggi
dalam daftar ini diduduki oleh Bangladesh dan Filipina, yang bersama dengan
Myanmar dianggap memiliki risiko "ekstrim". Negara-negara Asia
lainnya dalam sepuluh besar adalah India, Vietnam dan Laos.
Negara-negara Karibia,
Haiti dan Republik Dominika, dan negara-negara Amerika Tengah, Nikaragua dan
Honduras, melengkapi daftar sepuluh besar.
"Peta Risiko
Bahaya Alam" mendata dampak bencana alam di suatu negara terkait dengan
perekonomiannya, dengan mempertimbangkan kesiapannya menghadapi kejadian
tersebut dan kemampuan sosial untuk bangkit kembali.
Laporan ini menyoroti
dampak terhadap perekonomian Filipina akibat badai, tanah longsor, gunung
berapi, dan banjir, termasuk banjir besar yang melanda bagian utara Pulau Luzon
pekan lalu.
Laporan ini juga
mencatat dampak akibat kekeringan di India, yang pada tahun ini mungkin akan
menurunkan 0,5% dari PDB negara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar